Demo Bima, "Occupy" Ala Indonesia

VIVAnews - Koordinator Jaringan Advokasi Tambang, Andre S Wijaya menilai demonstrasi yang dilakukan warga Bima untuk menolak keberadaan tambang dengan cara menduduki pelabuhan merupakan cara yang lumrah.

"Kalau mau kita lihat gerakan occupy (menduduki) Wall Street misalnya, gerakan yang terjadi di Bima itu hal biasa dan itu lumrah dalam gerakan occupy," kata Andre dalam perbincangan dengan VIVAnews.com, Minggu 25 Desember 2011.

Gerakan semacam itu, sambung Andre, merupakan cara yang ditempuh masyarakat sipil di dunia sebagai bentuk gerakan perlawanan dengan cara damai. Dari rujukan berbagai aksi sejenis di dunia, gerakan ini dibubarkan dengan cara gentle. Aparat keamanan berdialog dengan demonstran.

"Apa yang terjadi di Bima itu penyerangan, bukan pembubaran," tegas dia. "Aparat dengan kekuatan penuh dan senjata laras panjang membubarkan massa yang damai."

Dalam catatan Jaringan Advokasi Tambang, sepanjang tahun 2011 terdapat 153 konflik pertambangan yang muncul. Angka itu baru konflik di tambang mineral dan batubara, belum tambang lainnya.

Data juga menunjukkan, sampai September 2011 pemerintah telah menerbitkan 8.103 Izin Usaha Tambang (IUT). Sementara data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral baru tercatat 5.374 IUT.

"Saat kami konfirmasi ke Kementerian ESDM mereka mengakui selisih angka itu, karena ada beberapa izin tambang yang belum terkategori clean dan clear," terang Andre.

Sektor pertambangan dan perkebunan skala besar seperti sawit, menurut Andre, merupakan pilar utama pendapatan nasional. Pemerintah menjadikan itu prioritas. "Tapi izin-izin itu dikeluarkan tanpa sepengetahuan dan persetujuan dari masyarakat lokal," imbuhnya.

Demonstrasi massa atas izin usaha tambang dilakukan dengan menduduki Pelabuhan Sape, Bima, NTB, selama enam hari. Sabtu 24 Desember kemarin, dalam aksi pembubaran oleh polisi, dua demonstran tewas. Sebanyak 47 demonstran ditetapkan sebagai tersangka pendudukan pelabuhan.
Laporan: Bobby Andalan | Bali, umi
• VIVAnews

Comments